Dinasti Politik Vs Dinasti Korupsi

Opini844 Dilihat

Akhir-akhir ini ramai dipergunjingkan orang, jelang pemilihan kepala daerah, istilah Dinasti Politik. Makna kata ‘Dinasti’ itulah yang membuat konotasi negatif terhadap kata ‘Politik’ yang sebenarnya memiliki nuansa mulia bagi kesejahteraan manusia.

Sebenarnya hal ini bukanlah peristiwa baru namun telah cukup lama masyarakat dipertontonkan berbagai berita kepala daerah maupun anggota legislatif atau birokrat yang memiliki tali kekerabatan keluarga dengan pendahulunya atau yang menduduki jabatan tersebut sebelumnya.

Namun bagaiman hal tersebut bisa ada bahkan terus menerus terjadi di setiap generasi. Bahkan bukan hanya di Tanah Air, di mancanegara politik dinasti biasa terjadi tanpa dipersoalkan dan berjalan secara wajar seperti air mengalir.

Tinjauan Hukum

Melihat dinasti politik tidak hanya dengan pandangan awam biasa saja karena hanya akan terjadi perdebatan serta pro dan kontra yang tidak konstruktif. Mari kita lihat dari aspek hukum.

Secara hukum hal tersebut dibenarkan. Meski dahulu sempat ada pelarangan lewat UU No 8 Tahun 2015. Aturan tersebut akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

MK menghapus pasal ‘dinasti politik’ dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan:

“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.”

Yang dimaksud dengan ‘kepentingan dengan petahana’ Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan:

Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.

MK menghapus hal tersebut bukan tidak beralasan. Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi argumen kuat menggugurkan pasal ‘dinasti politik’

Sedikitnya 4 persoalan HAM yang dilanggar dengan adanya pasal tersebut yaitu:

1. Pasal 21 DUHAM PBB Tahun 1948:

Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.

2. Pasal 5 ayat 1 UU HAM:
Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum

Baca juga:   Sabar Mangadoe: Hipotesis Baru Tentang Membumikan PANCASILA

3. Pasal 15 UU HAM:
Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

4. Pasal 43 ayat (1) UU HAM:
Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Dari tersebut bisa kita lihat bahwa dinasti politik adalah legal dan sah secara hukum. Sehingga pro kontra soal benar dan salahnya dinasti politik di jawab secara hukum adalah benar.

Politik Bermoral

Namun aspek lain yang bisa ditinjau adalah aspek moral atau istilah lain disebut etika politik yang menyajikan persoalan moral.

Menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya, (Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, halaman 3) etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik.

Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk.

Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.

Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.

Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik. Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik.(Widjaja. H. A. W. Etika Pemerintah. 1997. Jakarta: Bumi Aksara)

Menyimak pendapat para pakar diatas dapatlah disimpulkan mengenai ‘pantas’ dan ‘tidak pantasnya’ pelaku politik dalam ‘bermain’. Bisa juga dikaitkan dengan dinasti politik, meski tidak semata-mata etika politik hanya bicara soal dinasti politik, cakupan etika politik dalam hal moral masih jauh lebih dalam dan luas.

Menurut pendapat saya dinasti politik tidaklah semata-mata ‘buruk’ atau negatif. Bergantung dari hasilnya. Seorang yang memiliki hubungan kekerabatan atau kekeluargaan dengan petahana tidak semerta-merta merupakan politikus yang tidak baik. Bahkan tidak lebih baik dengan yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan petahana. Hal tersebut pandangan yang keliru. Karena bila sang calon yang notabene merupakan keluarga petahana memiliki kompetensi yang memadai, tentunya hal tersebut teruji setelah menjalankan roda pemerintahan, maka hasil ‘dinasti politik’ membawa kebaikan.

Baca juga:   Rumampen, Nilai Juang Egaliter nan Seimbang Warisan Leluhur Minahasa, Tinggal Kenangan?

Sebaliknya sisi negatif dari dinasti politik ini akan membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga.

Cara Membatasi Dinasti Politik

Pembatasan agar dinasti politik tidak semakin berkembang harus dilakukan secara sistematis, berikut beberapa cara agar politik dinasti dapat dibatasi ruang geraknya, antara lain:

1. Sistem pemilihan harus dirancang agar lebih ramah dan benar benar membuka ruang secara adil bagi siapapun untuk mencalonkan diri. Ambang batas pencalonan tidak lagi relevan untuk terus diberlakukan.

2. Penegakan hukum terhadap kasus suap dalam pencalonan (mahar politik) mesti menjadi perhatian penegak hukum sehingga biaya politik untuk pencalonan bisa ditekan. Begitu juga dengan penyimpangan dalam birokrasi dan pengambilan kebijakan yang sering digunakan sebagai ajian pamungkas pemenangan.

3. Partai politik harus mempunyai peran yang jauh lebih besar untuk menghambat laju dinasti. Jika proses rekrutmen kandidat dilakukan secara terbuka, dengan sistem yang baik tanpa tendensi ekonomi, tentu tidak hanya bisa menghambat laju dinasti politik, namun akan lahir orang-orang terbaik yang akan memimpin daerah. Dinasti politik berpotensi kuat menyuburkan budaya koruptif.
Tapi pencegahan dinasti politik bukan dengan membuat aturan hukum, melainkan dengan kerja-kerja politik untuk mencegah suburnya dinasti tersebut.

Dinasti Korupsi

Sebenarnya ada lagi hal yang jauh lebih mengerikan dibandingkan dinasti politik, yaitu dinasti korupsi!

Seperti uraian diatas tadi menyebutkan bahwa dinasti politik, bila si calon memiliki kompetensi, bahkan ada juga terkadang lebih baik dari pendahulunya ‘Sang Petahana’ yang notabene memiliki hubungan kekeluargaan. Hal tersebut patut diapresiasi meski embel-embel ‘dinasti politik’. Pada akhirnya istilah tersebut hanya tinggal istilah tanpa konotasi negatif.

Tapi yang jadi persoalan apabila terjadi ‘dinasti korupsi’. Meski tidak memiliki hubungan kekeluargaan namun korupsi yang terjadi seakan turun-temurun dari petahana hingga penerusnya. Ini yang sangat mengerikan dan amat buruk! Perilaku korupsi justru menjadi ‘dinasti’ terlebih menyeramkan bila dinasti korupsi seiring dan sejalan dengan dinasti politik. Hal seperti ini harus dilawan dan diperangi! Karena tindakan korupsi jauh lebih biadab dibandingkan pembunuhan, mengingat yang menjadi korban adalah masyarakat dengan jumlah cukup banyak.

Baca juga:   Sosok Dibalik Terlaksana HUT RI ke-75 di Bolmong

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

– perbuatan melawan hukum,

– penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

– memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

– merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, tetapi bukan semuanya, adalah

– memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),

– penggelapan dalam jabatan,

– pemerasan dalam jabatan,

– ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan

-menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya.

Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya.

Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Kesimpulannya dinasti politik secara etika moral tidak dianjurkan meskipun bukan suatu tabu dan tidak pantas juga ditolak sebelum dapat dipastikan kebenaran dari makna negatif suatu dinasti politik. Berbeda dengan dinasti korupsi yang secara absolut dan mutlak harus ditolak. Apalagi kolaborasi dari keduanya, dinasti politik bergabung dengan dinasti korupsi. Sebaliknya apabila ada gejala dinasti korupsi akan berkuasa bila dimungkinkan dinasti politik mampu mengimbangi dan menyaingi ‘why not?

Penulis : Jimmy Endey
Jurnalis, Tinggal di Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *